https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieOgkJHdMW2oCExP7pGWkTNLM7PJpC7LXOxYvUEcKajWLYotN_8YIpo1tW1qNOUKjJDw6Xy-EjihC9KwqAlzZdqZLbS9VPlhQjcp6-9aWTdrYtnEwPqR4yBbSXypVH9X_4Z1jWS7F_XQs/s128-no/Loading4.GIF

Selasa, 07 Oktober 2014

Cerpen "TERNYATA AKU MASIH KECIL" (Part III)

PART III
      Suatu ketika, kabar aneh datang padaku. Echa, temanku bilang, “Asri! Wildan anak kelas VIII 1 suka kamu looo. Barusan di bilang ke aku gini, “Cha, salam ya buat Asri, bilang dari Wildan!”, gitu Sri!”. Mendengar kabar itu aku hanya bisa membalas perkataan Echa dengan senyum sepet dan menganggap bodoh akan hal itu. Dan ternyata yang dibilang Echa benar. Wildan mencoba mengungkapkan perasaannya melalui sms. Aku tak langsung menjawab penawaran Wildan untuk jadi pacarnya. Karena aku berfikir bahwa, aku telah berjanji untuk tidak berpacaran terlebih dahulu. Tapi, setiap hari aku juga mulai dekat dengan Wildan. Aku merasa nyaman dengannya. Hingga dua hari kemudian, aku menjawab penawaran Wildan dan mau menerima Wildan menjadi pacarku. Aku mengingkari janjiku sendiri. Dalam benakku, aku merasa bersalah telah membohongi ayah dan bunda. Tapi apa daya, aku sudah tidak bisa menahan rasa ini.
       Sudah enam bulan aku dan Wildan berpacaran. Dan dengan pacaran ini, tak membuat sedikit pun prestasiku menurun. Nilai-nilaiku tetap stabil. Namun, akhir-akhir ini aku lebih sering asyik dengan handphone dan gadget-gadget ku. Aku melihat gerak-gerik ayah yang merasa curiga denganku. Dan ternyata waktu aku sekolah, ayah mengecek handphone ku, dan membaca semua pesan-pesanku.

      Waktu malam tiba, tanpa basa-basi ayah melontarkan pertanyaannya, “Asri! Apakah kamu berpacaran?”. Aku terkejut dan bingung harus menjwab apa. Tubuhku kaku dan gemetar. Dengan ketakutan aku menjawab, “Tidak, ayah. Tidak!”. Ayahku tak percaya dengan apa yang kukatakan. Ayahku terus medesakku dan kembali bertanya, “Jujur, Asri! Apkah kamu berpacaran?”, Tanya ayah dengan suara lantang. Tubuhku semakin gemetaran, dak aku menjawab, “TIDAK! Tidak, ayah!”. “Lalu, siapa Wildan?” ayahku bertanya dengan emosi yang memuncak. Aku pun terkejut, mataku berkaca-kaca ingin menitihkan air mata. Dengan lirih aku menjawab, “Dia hanya temanku ayah. Kenapa a…”, belum selesai aku berbicara, bunda memotong pembicaraanku. Dia berkata, “Nak, kamu jangan mengelak. Ayah dan bunda telah melihat sendiri pesan-pesanmu dengan Wildan. Jujurlah, nak!”. Air mataku mulai menetes, aku telah berbohong lagi kepada mereka. “Maafkan Asri ayah, ibu. Asri kembali berbohong pada ayah dan ibu. Iya, Asri berpacaran lagi.” kata-kata itu yang dapat ku lontarkan dari mulutku. Aku sudah tidak dapat berkutik lagi. “Kenapa kau bohongi kami lagi nak? Ayah paling tidak suka itu. Percuma jika kamu pintar tapi kau bohongi kamu terus. Dan kenapa kamu berpacaran Asri? Bukankah ayah sudah pernah bilang, belum saatnya nak. Kamu masih kecil! Ayah tau, memang masa-masamu ini adalah masa ketertarikan dengan lawan jenis. Tapi kembali ayah katakan, belum saatnya kamu untuk berpacaran Asri!” suara wibawa dan penuh penekanan ayah menasehatiku. Aku terus meneteskan air mata dan berulang kali mengucapkan kata “maaf”. Aku khilaf akan hal ini. Bundaku yang melihat hal ini, juga ikut menangis. Aku menangis tersedu-sedu dan berlutut kepada mereka. Dan dengan lapang hati, ayah dan bunda kembali memaafkanku. Aku berusaha berhenti dari tangisanku. Ayah dan bunda memaafkanku, tapi dengan syarat handphone dan semua gadget ku disita olehnya. Ok, aku terima syarat ini sebagai hukumanku. Aku pun tersenyum dan memeluk kedua orang tuaku. Dalam hati aku berkata, “Aku harus berpendirian kuat mulai sekarang!”. Aku pun melepas pelukanku dan pergi ke kamar. Sejenak ku merenung dan berfikir, “Ternyata Aku Masih Kecih Untuk Hal Ini!”.


SELESAI

1 komentar:

  1. berpendirian kuat ma ??
    Oke sipp deh !!
    Haruse ada lanjutan (SAATNYA AKU BESAR )

    BalasHapus