PART III
Suatu ketika, kabar aneh
datang padaku. Echa, temanku bilang, “Asri! Wildan anak kelas VIII 1 suka kamu
looo. Barusan di bilang ke aku gini, “Cha,
salam ya buat Asri, bilang dari Wildan!”, gitu Sri!”. Mendengar kabar itu
aku hanya bisa membalas perkataan Echa dengan senyum sepet dan menganggap bodoh
akan hal itu. Dan ternyata yang dibilang Echa benar. Wildan mencoba
mengungkapkan perasaannya melalui sms. Aku
tak langsung menjawab penawaran Wildan untuk jadi pacarnya. Karena aku berfikir
bahwa, aku telah berjanji untuk tidak berpacaran terlebih dahulu. Tapi, setiap
hari aku juga mulai dekat dengan Wildan. Aku merasa nyaman dengannya. Hingga
dua hari kemudian, aku menjawab penawaran Wildan dan mau menerima Wildan
menjadi pacarku. Aku mengingkari janjiku sendiri. Dalam benakku, aku merasa
bersalah telah membohongi ayah dan bunda. Tapi apa daya, aku sudah tidak bisa
menahan rasa ini.
Sudah enam bulan aku dan
Wildan berpacaran. Dan dengan pacaran ini, tak membuat sedikit pun prestasiku
menurun. Nilai-nilaiku tetap stabil. Namun, akhir-akhir ini aku lebih sering
asyik dengan handphone dan gadget-gadget ku. Aku melihat
gerak-gerik ayah yang merasa curiga denganku. Dan ternyata waktu aku sekolah,
ayah mengecek handphone ku, dan
membaca semua pesan-pesanku.
Waktu malam tiba, tanpa basa-basi ayah melontarkan
pertanyaannya, “Asri! Apakah kamu berpacaran?”. Aku terkejut dan bingung harus
menjwab apa. Tubuhku kaku dan gemetar. Dengan ketakutan aku menjawab, “Tidak,
ayah. Tidak!”. Ayahku tak percaya dengan apa yang kukatakan. Ayahku terus
medesakku dan kembali bertanya, “Jujur, Asri! Apkah kamu berpacaran?”, Tanya
ayah dengan suara lantang. Tubuhku semakin gemetaran, dak aku menjawab, “TIDAK!
Tidak, ayah!”. “Lalu, siapa Wildan?” ayahku bertanya dengan emosi yang
memuncak. Aku pun terkejut, mataku berkaca-kaca ingin menitihkan air mata.
Dengan lirih aku menjawab, “Dia hanya temanku ayah. Kenapa a…”, belum selesai
aku berbicara, bunda memotong pembicaraanku. Dia berkata, “Nak, kamu jangan
mengelak. Ayah dan bunda telah melihat sendiri pesan-pesanmu dengan Wildan.
Jujurlah, nak!”. Air mataku mulai menetes, aku telah berbohong lagi kepada
mereka. “Maafkan Asri ayah, ibu. Asri kembali berbohong pada ayah dan ibu. Iya,
Asri berpacaran lagi.” kata-kata itu yang dapat ku lontarkan dari mulutku. Aku
sudah tidak dapat berkutik lagi. “Kenapa kau bohongi kami lagi nak? Ayah paling
tidak suka itu. Percuma jika kamu pintar tapi kau bohongi kamu terus. Dan
kenapa kamu berpacaran Asri? Bukankah ayah sudah pernah bilang, belum saatnya
nak. Kamu masih kecil! Ayah tau, memang masa-masamu ini adalah masa
ketertarikan dengan lawan jenis. Tapi kembali ayah katakan, belum saatnya kamu
untuk berpacaran Asri!” suara wibawa dan penuh penekanan ayah menasehatiku. Aku
terus meneteskan air mata dan berulang kali mengucapkan kata “maaf”. Aku khilaf
akan hal ini. Bundaku yang melihat hal ini, juga ikut menangis. Aku menangis
tersedu-sedu dan berlutut kepada mereka. Dan dengan lapang hati, ayah dan bunda
kembali memaafkanku. Aku berusaha berhenti dari tangisanku. Ayah dan bunda
memaafkanku, tapi dengan syarat handphone
dan semua gadget ku disita
olehnya. Ok, aku terima syarat ini sebagai hukumanku. Aku pun tersenyum dan
memeluk kedua orang tuaku. Dalam hati aku berkata, “Aku harus berpendirian kuat
mulai sekarang!”. Aku pun melepas pelukanku dan pergi ke kamar. Sejenak ku
merenung dan berfikir, “Ternyata Aku
Masih Kecih Untuk Hal Ini!”.
SELESAI
berpendirian kuat ma ??
BalasHapusOke sipp deh !!
Haruse ada lanjutan (SAATNYA AKU BESAR )